PERUBAHAN BAHASA INDONESIA
SEBUAH BENTUK KREATIVITAS DAN SEKALIGUS FENOMENA MELEMAHNYA
KARAKTER BANGSA
“TEORI ALIH KODE”
NAMA : siti atun
NIM : 100388201131
PROGRAM STUDI BAHASA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN dan ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2012
Abstrak:
Semua bahasa pasti mengalami perubahan karena sifatnya
dinamis
bukan statis. Perubahan bahasa Indonesia, misalnya,
dapat di pengaruhi oleh
beberapa hal.
·
Pertama, semakin banyaknya kosa kata dan frase bahasa asing
khususnya bahasa Inggris yang dimasukkan ke dalam
bahasa Indonesia. Proses ini
lazim disebut alih kode (code switching) yaitu
tindakan memasukkan kosa kata
dan frase dari bahasa tertentu ke bahasa lain. Alih
kode seringkali dilakukan oleh
penutur asli bahasa Indonesia terutama generasi muda,
baik di dalam komunikasi
lisan maupun tulisan.
·
Ke dua, penyingkatan kata-kata bahasa
Indonesia(shortening words) yang menyebabkan
beberapa kosa kata berubah dari
aturan ‘baku’nya.
·
Ke tiga, muncul dan berkembangnya ragam bahasa slang.
Makalah ini bertujuan untuk membahas dampak positif
dan negatif perubahan
bahasa Indonesia.Di satu sisi, perubahan tersebut bisa
dinilai sebagai sebuah
bentuk kreativitas.Alih kode, penyingkatan kata-kata,
dan slang dapat
memperkaya kosa kata bahasa Indonesia.Selain itu,
ketiga fenomena kebahasaan
ini menumbuhkembangkan rasa empati yang mempererat
hubungan antar penutur
karena alih kode, penyingkatan kata-kata, dan slang
lazim digunakan oleh
sekelompok orang yang telah memiliki kesamaan
nilai-nilai. Di sisi lain, ada
kemungkinan seorang penutur asli justru tidak mampu
berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar. Selain itu, linguistic
imperialism sangat mungkin terjadi.
Hal ini berarti bahwa penutur asli bahasa Indonesia
didominasi oleh bahasa asing
(dalam hal ini bahasa Inggris) dan beranggapan bahwa
bahasa asing bernilai lebih
tinggi daripada bahasa Nasional. Dengan kata lain,
muncul fenomena
melemahnya
karakter bangsa.
Di dalam dunia pendidikan (khususnya di tingkat
Perguruan Tinggi), salah satu
hal yang dapat dilakukan oleh seorang pendidik untuk
mengantisipasi dampak
negatif tersebut adalah dengan cara mengarahkan
persepsi para pelajar bahwa
tidak ada superioritas antar bangsa. Dengan
mempelajari dan menguasai sebuah
bahasa asing, misalnya, seseorang diharapkan akan
mampu bersaing di era global
dengan tetap mempertahankan kearifan lokal.
Kata kunci:
alih kode;
penyingkatan kata- kata, slang, linguistic imperialism,
kearifan lokal.
Pendahuluan
Bahasa berfungsi sebagai media komunikasi.Melalui
bahasa manusia berusaha
untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan.Oleh karena
sifatnya yang dinamis
maka setiap bahasa di dunia termasuk bahasa Indonesia,
pasti mengalami
perubahan yang berdampak positif dan negatif.Di dalam
kasus bahasa Indonesia,
perubahan bisa dipengaruhi oleh beberapa hal.
·
Pertama, meningkatnya jumlah kosa
kata dan frase bahasa asing khususnya bahasa Inggris
yang dimasukkan ke dalam
bahasa Indonesia. Proses ini lazim disebut alih kode (code
switching)yaitu
tindakan memasukkan kosa kata dan frase dari bahasa
tertentu ke bahasa lain.
Penutur asli bahasa Indonesia terutama generasi
mudaseringkali melakukan alih
kode baik di dalam komunikasi lisan maupun tulisan.
·
Ke dua, penyingkatan katakata
bahasa Indonesia(shortening words) yang
menyebabkan beberapa kosa kata
berubah dari aturan ‘baku’nya.Faktor ke tiga adalah
muncul dan berkembangnya
ragam bahasa slang.
Makalah ini akan membahas dampak positif dan negatif
perubahan bahasa
Indonesia. Oleh karena itu, istilah alih kode,
penyingkatan kata-kata, dan ragam
bahasa slang beserta contohnya akan dijelaskan
terlebih dahulu. Kemudian, peran
pendidik (khususnya di tingkat Perguruan Tinggi) untuk
mengantisipasi
kemungkinan dampak negatif perubahan bahasa Indonesia
akan dipaparkan.
I.Pembahasan
Alih Kode, Penyingkatan Kata-Kata, dan Ragam Bahasa
‘Slang’
a.Alih Kode
Istilah alih kode mengacu kepada tindakan seorang
penutur yang memasukkan
kosa kata dan frase dari bahasa tertentu ke dalam
bahasa yang digunakannya.Ada
tiga macam alih kode yaitu situational, methaporical,
dan conversational.
Meskipun demikian, di dalam makalah initidak semua
tipe alih kode akan
dijelaskan tetapi hanya tipe ke tiga yaitu conversational(khususnya
alih kode dari
bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris) karena jenis
alih kode inilah yang
paling sering digunakan oleh penutur asli bahasa
Indonesia terutama generasi
muda. Gumperz (di dalam Hudson, 1980) menjelaskan
bahwa tipe alih kode
conversational mengacu kepada tindakan penutur bahasa tertentu yang
beralih
menggunakan kosa kata bahasa lain ketika mereka sedang
berkomunikasi.
Peralihan ini sangat sering terjadi, bahkan di dalam
satu kalimat yang dituliskan
ataupun diucapkan oleh penutur tersebut.
Tipe alih kode conversationaltelah menjadi bagian
hidup sebagian anggota
masyarakat Indonesia, khususnya bagi mereka yang
memiliki akses untuk masuk
ke dalam jaringan sosial dunia.Komunikasi secara
tertulis (misalnya melalui
media internet dan telepon genggam)maupun lisan dapat
menjadi contoh nyata
berkembangnya penggunaan alih kode.Nurhayani (2005) di
dalam penelitiannya
mengenai alih kode menyatakan bahwa fenomena ini
berhubungan erat dengan
gaya hidup dan prestise. Dengan menggunakan alih kode,
seorang penutur asli
bahasa Indonesia merasa memiliki status sosial yang
lebih tinggi bila
dibandingkan dengan mereka yang tidak mengenal dan
mempraktekkannya.
Fenomena alih kode ini juga tidak terlepas dari
kenyataan menguatnya kedudukan
bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional pertama
yang dipelajari di seluruh
dunia termasuk di Indonesia.Para pembelajar yang
terbiasa menggunakan bahasa
Inggris di dalam kelas telah membawa kebiasaan
tersebut ke dalam pergaulan
sehari-hari. Mereka menggabungkan bahasa Indonesia dan
Inggris ketika
berkomunikasi dengan lawan tutur. Sejalan dengan
Nurhayani, Onishi (2010) juga
berpendapat bahwa berkembangnya alih kode di kalangan
generasi muda
Indonesia memang terkait erat dengan gayahidup.
Sebagian besar masyarakat
kelas menengah ke ataslebih memilih sekolah swasta
berstandar internasional
yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar di dalam proses
belajar-mengajar. Ironisnya, sebagian pembelajar
tersebut merasa bangga bila
tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Sebenarnya perkembangan penggunaan alih kode telah
menjadi perhatian para
ahli bahasa Indonesia, seperti Charlie (1999),
Moeliono di dalam Sugono (2003),
Sugihastuti (2003), dan Soedjatmoko di dalam Anwar
(2004) yang
menyatakanbahwa bahasa Indonesia telah mengalami
perubahan leksikal. Salah
satu perubahan tersebut terjadi di dalam hal
peminjaman kata dari bahasa Inggris
ke bahasa Indonesia (di dalam Hajar, 2005,
hal.1).Hajar kemudian
menjelaskanbahwa perubahan leksikal ini lambat laun
berubah menjadi fenomena
alih kode.
Berikut ini beberapa contoh penggunaan alih kode di
dalam bahasa tulis melalui
media internet.Meskipun demikian, contoh kalimat yang
dipaparkan di sini juga
sering digunakan di dalam komunikasi lisan.
Contoh Alih : KodeKalimat Sumber
Jangan in your mind ajee dong darrr sini dehhh...
Twitter
Apapun substansi & discourse
"positioning" yg kt
maksud, semua akan kembali ke muara
"keselarasan". Yg ptg hdp ini hrs balance
dlm sgl
aspect.
Facebook
Gue juga gak maksud apa-apa siih…Cuma wanna
know aja…
Detik Forum
b.Penyingkatan Kata-Kata
Penyingkatan kata-kata merupakan bentuk variasi bahasa
Indonesia. Fenomena
kebahasaan ini seringkali terjadi di dalam komunikasi
lisan dan tulisanmelalui
media internet dan telepon genggamyang dinilai
berpotensi merusak bahasa
Indonesia ‘baku’. Beberapa contoh kata bahasa
Indonesia yang mengalami
penyingkatan adalah terima kasih menjadi trims;
akhiran –nya menjadi x;dan
murah meriah menjadi murmer.
c.Ragam Bahasa ‘Slang’
Burridge (2002, di dalam Harwati, 2010) menyatakan
bahwa istilah slang
mengacu kepada “kosa kata dan idiom rahasia yang
dipergunakan oleh sebuah
kelompok tertentu yang antar anggotanya telah memiliki
kesamaan nilai-nilai”
(hal.182).Di dalam bahasa Indonesia, padanan istilah
bahasa slang adalah bahasa
gaul. Harwati juga menjelaskan bahwa di dalam
perkembangannya, bahasa
gaulbanyak dipergunakan oleh kaum remaja sebagai
‘identitas’ dan media
komunikasi antar mereka. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa bahasa
gaulsangat dekat dengan kehidupan para remaja.
Kosa kata bahasa (Indonesia)gaulantara lain dibentuk
dengan cara
mengkombinasikan huruf dengan angka serta huruf dengan
angka bahasa Inggris.
Beberapa contoh kata yang termasuk ragam bahasa
gaulantara laint4 dibaca
tempat; j4n9n dicob4 dibaca jangan dicoba; s2 dibaca situ
(Damhuri, 2010, hal.1).
Beragam kosa kata tersebut digunakan oleh penutur asli
bahasa Indonesia ketika
mereka berbincang melalui media internet (chatting)
dan menulis pesan singkat
melalui telepon genggam. Contoh kosa kata bahasa gaul
lainnya yang seringkali
dugunakan di dalam komunikasi baik lisan maupun
tulisan adalah kaya menjadi
tajir; jijikmenjadi jijay; ayah ibu menjadi bokap nyokap,
dan sebagainya.
II. Dampak Perubahan Bahasa Indonesia
a. Dampak
Positif
Burridge (2002, hal.102) menyatakan bahwa “there is
always something good in
bad language” (pasti ada sesuatu yang baik di balik bahasa yang
dinilai
menyalahi aturan baku). Pendapat ini berarti bahwa
bahasa yang dianggap ‘salah’
pasti memiliki sisi positif.Fenomena alih kode dapat
menunjukkan bahwa penutur
memiliki kemampuan berbahasa Inggris.Di era
globalisasi dewasa ini,
kemampuan tersebut dapat berfungsi sebagai salah satu
cara untuk mengakses
informasi dan ilmu pengetahuan secara lebih luas.
Selain itu, kemampuan
berbahasa Inggris juga memungkinkan seseorang untuk
dapat mempelajari budaya
bangsa lain karena bahasa merupakan bagian dari budaya
dan sebaliknya. Dengan
menguasai bahasa Inggrisseseorang juga akan mampu
menembus sekat yang
memisahkan bangsa-bangsa di dunia. Bahasa Inggris
telah menjadi lingua franca
yang memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi dengan
orang lain secara
lebih mudah.
Sementara itu, penyingkatan kata-katadapat memperkaya
perbendaharaan kata
bahasa Indonesia.Variasi bahasa ini juga dapat
membantu para penutur untuk
meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia dan
keakraban antar mereka.Hal
ini berdasarkan alasan bahwa para penutur pada umumnya
lebih familiar dengan
kosa kata yang telah mengalami penyingkatan karena
lazim digunakan di dalam
komunikasi sehari-hari.
Mengenai bahasa gaul, Burridge (2002) lebih jauh
menjelaskan bahwa ragam
bahasa ini memiliki fungsi solidaritas. Bahasa
gauldapat meningkatkan empati
antar penutur karena pada umumnya bahasa gaul
dipergunakan oleh sekelompok
orang tertentu yang telah memiliki kesamaan
nilai-nilai. Dengan demikian, tidak
sepenuhnya bijaksana bila dikatakan bahwa bahasa
gaulberpotensi merusak
kaidah bahasa Indonesia.
b. Dampak
Negatif
Berdasarkan kenyataan bahwa ketiga fenomena kebahasaan
yaitu alih kode,
penyingkatan kata-kata, dan ragam bahasa gaul telah
menjadi bagian dari gaya
hidup para penuturnya maka muncul kekhawatiran bahwa
mereka tidak mampu
berbahasa Indonesia dengan baik dan benar khususnya
secara formal, baik di
dalam komunikasi lisan maupun tulisan. Kemungkinan
dampak negatif yang lain
adalah terjadinya linguistic imperialism. Gilbert
Ansre (di dalam Tang, 2006 via
Harwati, 2010, hal.180) menyatakan bahwa definisi linguistic
imperialism adalah
“any situation in which the speaker of one language is
dominated by another
language” (sebuah situasi dimana seorang penutur bahasa tertentu didominasi
oleh bahasa lain).Istilah linguistic imperialism ini
sejak awal memang mengacu
kepada ketidakseimbangan posisi antara bahasa Inggris
sebagai bahasa
Internasional pertama dan bahasa-bahasa lain.
Braj Kachru (di dalam Tang, 2006, hal.7) lebih jauh
menjelaskan bahwalingusitic
imperialism dapat terjadi ketika sebuah negara dijajah oleh negara lain yang
berbahasa Inggris. Negara penjajah memegang peranan
penting untuk menjadikan
bahasa Inggrisberkedudukan lebih kuat daripada bahasa
asli negara jajahan.Ada
tiga cara yang lazim digunakan oleh negara penjajah
untuk memperkuat
kedudukan bahasa Inggris.Pertama, mengganti bahasa
asli negara jajahan dengan
bahasa Inggris.Ke dua, memposisikan bahasa Inggris
sebagai bahasa resmi.Ke
tiga, menanamkan sikap ‘menerima’ bahasa Inggris
terhadap negara jajahan
sehingga muncul berbagai variasi ‘lokal’bahasa
tersebut.
Bila dilihat dari sudut pandang sejarah,jejak-jejak
kolonialisme negara Inggris di
Indonesia memang tidak terlalu signifikan.Dengan
demikian, mungkin sebuah
pertanyaan akan muncul: apakah bukan sebuah
kekhawatiran yang berlebihan bila
bangsa Indonesia akan mengalami linguistic
imperialism? Menurut pendapat
penulis, kekhawatiran tersebut bukanlah sesuatu yang
berlebihan dan tanpa
alasan.Seperti yang telah dipaparkan di bagian awal
makalah ini bahwa bahasa
Inggris telah menjadi bagian dari gaya hidup sebagian
anggota masyarakat
Indonesia.
Frase ‘sebagian anggota masyarakat’ mengacu kepada
mereka yang memiliki
akses lebih luas terhadap pendidikan dan jaringan
sosial dunia.Mereka inilah yang
diharapkan memiliki pengetahuan dan kemampuan yang
lebih mengenai cara
untuk mempertahankan kedudukan bahasa Indonesia di era
globalisasi ini.
Meskipun demikian, kenyataan yang ada saat ini sangat
bertolak
belakang.Sebagian masyarakat Indonesia yang menjadikan
bahasa Inggris sebagai
bagian dari gaya hidup tersebut justru berpendapat
bahwa bahasa Inggris lebih
penting daripada bahasa Indonesia untuk meningkatkan
status sosial mereka.
Dengan demikian, fenomena berkembangnya penggunaan
bahasa Inggris di
kalangan masyarakat Indonesia ini dapat dikaitkan
dengan melemahnya karakter
bangsa.Hal iniakan dibahas lebih lanjut pada sub bab
berikut.
III. Karakter Bangsa Indonesia dan Peran Pendidik
Mengingat bahwa sebagian besarkelompok masyarakat yang
menjadikan bahasa
Inggris sebagai bagian dari gaya hidup adalah generasi
muda maka para pendidik
(makalah ini mengkhususkan kepada para pendidik di
tingkat Perguruan Tinggi)
memiliki peran yang cukup penting untuk mengantisipasi
kemungkinan dampak
negatif dari dominasi bahasa Inggris.Para pendidik
diharapkan mampu untuk
mengarahkan persepsi pembelajar bahwa mempertahankan
karakter bangsa adalah
hal yang penting.
Meskipun demikian, bukanlah sesuatu yang mudah untuk
mendefinisikan istilah
karakter bangsa Indonesia.Negara ini bersifat majemuk, terdiri dari berbagai
suku, bahasa, tatanan nilai, dan kepercayaan.Sifat
‘keindonesiaan’ bangsa ini
justru tercermin dari berbagai perbedaan tersebut.Sudarsono
(2010) menyatakan
bahwa “setiap percikan budaya dari setiap suku bangsa,
setiap daerah, itu bagian
dari mahligai, mahkota tentang keindonesiaan”
(hal.1).Dengan kata lain,
kebhinekaan adalah karakter bangsa Indonesia. Salah
satuhal yang berfungsi
sebagai pengikat keberagaman tersebut adalah bahasa
Nasional yaitu bahasa
Indonesia.Oleh karena itu, sudah selayaknya jika
setiap elemen bangsa ini
terutama generasi muda berkewajiban untuk mencintai
dan menjaga kelestarian
bahasa Indonesia mengingat bahwa mereka adalah pilar
penting untuk membawa
bangsa ini ke masa depan yang lebih baik.
Usaha untuk memupuk rasa cinta terhadap bahasa
Indonesia di kalangan generasi
muda memang dapat dilakukan secara informal, misalnya
dimulai dari lingkungan
keluarga, maupun secara formal melalui dunia
pendidikan. Seperti telah dijelaskan
di bagian sebelumnya bahwa makalah ini hanya akan
membahas cara ke dua.Di
dalam ranah pendidikan tinggi, para pendidik khususnya
mereka yang
berkecimpung di bidang pengajaran bahasa asing,
memiliki peran yang sangat
penting untuk mengarahkan persepsi para pembelajar
bahwa tidak ada superioritas
antar bangsa.Setiap bangsa memiliki penciri budaya dan
salah satunya adalah
bahasa.
Meskipun di dalam makalah ini fenomena perkembangan
penggunaan bahasa
Inggris di kalangan masyarakat Indonesia yang menjadi
fokus bahasan, menurut
pendapat penulis semua pengajar bahasa asing memiliki
peran yang sama untuk
menjembatani pemahaman para pembelajar tentang
perbedaan budaya antar
bangsa. Hal ini berdasarkan alasan bahwa ada
kemungkinan para pembelajar
bahasa asing selain bahasa Inggris jugaakan terkena
dampak linguistic
imperialism. Mereka didominasi oleh bahasa asing yang sedang dipelajari hingga
memiliki penilaian bahwa bahasa asing tersebut
berkedudukan lebih tinggi
daripada bahasa Indonesia.
Satu hal yang penting untuk dilakukan oleh pangajar
bahasa asing adalah
memasukkan unsur kearifan lokal di dalam proses
belajar-mengajar. Sartini
(2004) menyatakan bahwa kearifan lokal adalah “gagasan
setempat (local) yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik,
yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya” (hal.119). Berdasarkan definisi
tersebut, bahasa
Indonesia dapat dikategorikan sebagai kearifan lokal,
salah satu hasil gagasan
yang bernilai luhur dan kemudian dijadikan sebagai
identitas nasional. Dalam
kaitannya dengan proses pembelajaran bahasa asing,
bukanlah hal yang mudah
bagi pengajar untuk memposisikan diri secara seimbang.
Di satu sisi, mereka
diharapkan mampu memberikan pengetahuan dan pemahaman
kepada pembelajar
mengenai bahasa (dan budaya) asing. Di sisi lain, para
pengajar tersebut juga
dituntut untuk tetap mempertahankan nilai-nilai lokal.
Penulis sebagai seorang pengajar bahasa Prancis
misalnya, berusaha untuk
memahami bahwa setiap pembelajar memiliki hak untuk
mempertahankan bahasa
Nasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Nunan (1999,
di dalam Harwati, 2010,
hal.181) bahwa “pedagogical action need to be
sensitive to the cultural and
environment contexts in which teaching takes place” (proses pengajaran harus
melibatkan kepekaan terhadap budaya lokal dimana
proses tersebut berlangsung).
Meskipun para pembelajar diharapkan untuk dapat secara
aktif memparaktekkan
kemampuan berbahasa Prancis baik di dalam dan di luar
kelas, mereka harus tetap
memiliki kepekaan.Kapan, di mana, dan dengan siapa
mereka sedang
berkomunikasi.Mempelajari bahasa asing bukan berarti
bahwa para pembelajar
harus terus-menerus menggunakan bahasa tersebut tanpa
memahami situasi
kebahasaan yang sedang mereka hadapi.Menguasai bahasa
asing adalah modal
penting bagi mereka agar mampu bersaing di era global
tanpa harus meninggalkan
kearifan lokal.
Kesimpulan
Perubahan bahasa Indonesia yang ditengarai oleh
setidaknya tiga hal yaitu alih
kode, penyingkatan kata-kata, dan berkembangnya bahasa
gaul,telah membawa
dampak positif dan (kemungkinan) negatif. Di satu
sisi, perubahan tersebut dapat
memperkaya kosa kata bahasa Indonesia, meningkatkan
rasa empati antar penutur,
serta menunjukkan bahwa penutur asli bahasa Indonesia
juga memiliki
kemampuan berbahasa asing, khususnya bahasa Inggris.
Di sisi lain, ada
kemungkinan bahwa penutur asli kurang mampu berbahasa
Indonesia dengan baik
dan benar terutama ragam bahasa formal serta terkena
dampak linguistic
imperialism.
Di sektor pendidikan, para pengajar bahasa asing
memiliki peran yang sangat
penting untuk mengantisipasi kemungkinan dampak
negatif tersebut.Menanamkan
pemahaman kepada para pembelajar bahwa mempertahankan
karakter bangsa
dengan cara mencintai dan melestarikan kearifan lokal
adalah unsur penting untuk
mampu bertahan dan bersaing tanpa harus terpengaruh arus
globalisasi.
Daftar Pustaka
Burridge, K. (2002). Blooming English: Observations on the Roots,
Cultivation,
and Hybrids of the English Language. Sydney: ABC Books.
Damhuri (2010).Bahasa Indonesia vs Bahasa SMS. Diakses pada tanggal
7 September 2010, dari
http://damhuri.info/index.php?option=com_content&view=article&id=87:bahasaindonesia-
vs-bahasa-sms&catid=44:tugas-kuliah&Itemid=63
Hajar, S. (2005).‘Why me- + English Words?’ di dalam prosiding untuk
CONEST2. Yogyakarta, Indonesia: Universitas Atmajaya, hal. 1-9.
Harwati, L.N. (2010). ‘Pemertahanan Identitas Lokal dalam Proses Pengajaran
Bahasa Prancis’ di dalam prosiding untukSeminar Internasional PELANTRA.
Surabaya, Indonesia: Universitas PGRI Adi Buana, hal. 179-184.
Hudson, R.A. (1980). Sociolinguistics. University College London:
Cambridge
University Press.
http://www.facebook.com
http://www.forum.detik.com
http://www.twitter.com
Nurhayani, I. (2005). Alih kode dalam Wacana Siaran Musik untuk Anak
Muda
pada Radio-Radio FM di Yogyakarta: Studi Kasus pada Acara Musik Sunday
Morning di Radio Star FM, Sansero dan Good Morning Youngsters di Radio
Geronimo FM, dan Hits di Radio Prambors FM. Universitas Gadjah Mada:
Sekolah Pasca Sarjana Linguistik.
Onishi, N. (2010).As English Spreads, Indonesians Fear for their
Language.
Diakses pada tanggal 7 September 2010, dari
http://www.nytimes.com/2010/07/26/world/asia/26indo.html?_r=1&hpw
Sartini (2004).Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian
Filsafati.
Jurnal Filsafat Edisi Agustus, Jilid 37, Nomor 2.
Sudarsono, J. (2010). Pendidikan Karakter Bangsa dimulai di Rumah.
Diakses
pada tanggal 18 September 2010, dari http://kabar.in/2010/indonesiaheadline/
rilis-berita-depkominfo/03/03/juwono-sudarsono-pendidikan-karakterbangsa-
dimulai-di-rumah.html
Tang, W. (2006). Linguistic Imperialism in Medium of Instruction
Policies in Pre
and Post 1997 Hong Kong. Hong Kong: BMC
East Asian Studies Thesis (tidak
dipublikasikan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar