MAKALAH STUDI KASUS SOSIOLINGUSTIK
INTERFERENSI
BAHASA BUGIS DALAM PEMBELAJARAN
BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR
Dosen pembimbing: Eka Rihan
K, S,Pd., M,Pd
Disusun
Oleh :
marina
100388201173
PROGRAM STUDI BAHASA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
Abstrak :
Ini masalah penelitian dengan gangguan bahasa Bugis
dalam belajar bahasa indonesia di SD Tanjungpinang. Data
adalah bahasa lisan yang diucapkan oleh
para siswa yang ibunya bahasa
Bugis. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ada tiga jenis gangguan
terjadi dalam percakapan siswa: gangguan interferensi, fonologi, morfologi,
dan interferensi sintaksis. Campur tangan Bugis tidak terjadi secara sadar. Hal ini terjadi karena efek dari kehidupan sehari-hari sehingga unsur kata-kata atau kalimat Bugis masih dilakukan
dalam komunikasi di sekolah.
Kata
kunci : interferensi, Bugis, bahasa Indonesia bahasa belajar.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Bahasa Indonesia merupakan alat
pemersatu berbagai suku bangsa yang memiliki latar belakang berbeda-beda,
sebab Indonesia adalah negara yang multilingual. Selain bahasa Indonesia yang
digunakan secara nasional, terdapat pula ratusan bahasa daerah yang digunakan
oleh masyarakat, baik untuk komunikasi sehari-hari maupun keperluan yang
sifatnya kedaerahan.
Dalam masyarakat multilingual yang
mobilitasnya tinggi, anggota-anggota masyarakatnya akan cenderung untuk
menggunakan dua bahasa atau lebih, baik sepenuhnya atau sebagian, sesuai
dengan kebutuhan (Chaer, 1994:68). Kefasihan seseorang menggunakan dua bahasa
sangat tergantung kepada kesempatan menggunakan kedua bahasa tersebut. Jika
kesempatannya banyak, maka kefasihannya akan bertambah baik, sebaliknya bila
sedikit kesempatan maka kefasihannya akan tetap atau bahkan berkurang.
Bahasa Bugis pada umumnya dipakai
oleh masyarakat yang tinggal di propinsi Sulawesi Selatan. Bahasa Bugis
sebagai bahasa daerah mempunyai logat dan dialek yang berbeda-beda sesuai
dengan wilayah domisili penuturnya. Selain di Propinsi Sulawesi Selatan, di
Propinsi Jambi juga terdapat daerah yang dominan masyarakatnya menggunakan
bahasa Bugis untuk berkomunikasi yakni di daerah desa Tanjung Jebung Timur . Logat
Bahasa bugis yang dipakai oleh masyarakat yang tinggal di desa Tanjung Jebung Timur tidak jauh
berbeda dengan logat yang diucapkan oleh masyarakat yang tinggal di Tanjungpinang.
Dalam penggunaan bahasa Bugis yang
dikuasai anak sejak kecil dan terus digunakan dalam kehidupan siswa yang
bersekolah sudah tentu berpengaruh pada penggunaan bahasa pada saat mereka
mengikuti pelajaran di sekolah. Apalagi anak sekolah dasar yang masih kental
dengan bahasa ibunya. Selain itu juga, penduduk yang tinggal di sekitar sekolah
mayoritas suku Bugis, kemungkinan anak-anak menggunakan bahasa Bugis untuk
berkomunikasi dalam proses belajar-mengajar di sekolah sangat besar. Chaer
(1994) menyebut gejala pemakaian bahasa seperti ini sebagai interferensi
bahasa. Interferensi bahasa adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain dalam
bahasa yang sedang digunakan, sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari
bahasa yang sedang digunakan
Penelitian ini mencoba
mendeskripsikan bentuk-bentuk interferensi bahasa Bugis dalam pembelajaran
bahasa Indonesia siswa Sekolah Dasar di Tanjungpinang. Hasilnya
diharapkan dapat dijadikan informasi penting bagi pemerhati bahasa dalam
upaya pengembangan dan pembinaan bahasa
Indonesia.
RUMUSAN MASALAH
Metode yang digunakan dalam penulisan ini
adalah metode deskriptif kualitatif. Datanya adalah bahasa lisan yang
dituturkan oleh baik siswa maupun guru di dalam proses belajar-mengajar
bahasa Indonesia di kelas. Data tersebut diperoleh dengan teknik simak libat
cakap, catat, dan rekam.
Data yang terkumpul dianalisis
dengan metode padan intralingual dengan teknik hubung banding menyamakan dan
membedakan bentuk-bentuk intrferensi yang teranalisis. Selain itu digunakan
juga metode padan ekstralingual dengan teknik hubung-banding bentuk-bentuk
bahasa dengan hal-hal luar bahasa, misalnya kesepadanan bentuk bahasa yang
digunakan dengan penutur, tujuan, dan konteks tuturan.
TUJUAN
PENULISAN
Penulisan ini mencoba mendeskripsikan
bentuk-bentuk interferensi bahasa Bugis dalam pembelajaran bahasa Indonesia
siswa Sekolah Dasar di Tanjungpinang. Hasilnya diharapkan dapat dijadikan informasi
penting bagi pemerhati bahasa dalam upaya pengembangan dan pembinaan bahasa
Indonesia.
PEMBAHASAN
Masuknya bahasa Bugis dalam
tuturan yang dilakukan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah
umumnya terjadi secara spontan, artinya dalam berkomunikasi siswa tidak
merancang penuturan kalimat harus menggunakan bahasa Bugis. Namun tuturan
percakapan dengan bahasa tersebutlah yang sebenarnya dikuasai. Dengan
demikian interferensi yang terjadi dikarenakan oleh kebiasaannya bertutur
menggunakan bahasa Bugis dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah diperoleh data penelitian
dari tuturan yang dihasilkan siswa dan guru yang berlangsung pada saat proses
belajar mengajar, peneliti menemukan bahwa interferensi yang terjadi dalam
tuturan siswa dan guru terdapat tiga jenis interferensi yaitu pada tataran
fonologi, morfologi, dan sintaksis. Interferensi fonologi dapat dibedakan
menjadi: interferensi yang terjadi dalam vokal, diftong dan konsonan.
Interferensi morfologi dapat dibedakan menjadi: Prefiks, sufiks, dan konfiks.
Selanjutnya, interferensi sintaksis dapat dilihat pada tataran frasa dan
klausa.
Interferensi Fonologis
Interferensi fonologis adalah
kekacauan atau gangguan sistem suatu bahasa yang berhubungan dengan fonem.
Interferensi fonologi ini terjadi pada tataran vokal, diftong dan tataran
konsonan. Interferensi pada tataran vokal tampak seperti di bawah ini.
tarima -----------
terima
tulung ----------- tolong
cilaka ----------- celaka
nyamen ----------- nyaman
jeri
----------- jera
Data tersebut memperlihatkan bahwa interferensi
fonologi bahasa Bugis dalam bahasa Indonesia yang terjadi pada tataran vokal
yakni terjadi perubahan vokal [e] dalam bahasa Indonesia menajdi vokal [a]
dalam bahasa Bugis. Pada kata tarima terjadi perubahan vokal [e]
dengan vokal [a]. Perubahan ini disebut interferensi yang terjadi pada fonem
dari bahasa Bugis kedalam bahasa Indonesia sebab pola baku bahasa Indonesia
adalah “terima” bukan tarima.
Kata “tolong” dari bahasa
Indonesia, berubah pengucapan dalam bahasa bugis menjadi tulung.
Perubahan kata tulung terjadi pada perubahan vokal [o] menjadi vokal
[u]. Pada kata “celaka” dari bahasa Indonesia, berubah pengucapan dalam
bahasa Bugis menjadi cilaka. Perubahan pada kata cilaka terjadi
pada perubahan vokal [e] menjadi vokal [i]. Pada kata nyamen terjadi
perubahan vokal [a] dengan vokal [e]. Perubahan ini disebut interferensi yang
terjadi pada fonem dari bahasa Bugis ke dalam bahasa Indonesia sebab pola
baku bahasa Indonesia adalah “nyaman” bukan nyamen. Perubahan
pengucapan vokal [a] menjadi vokal [i] pada kata “jera” dalam bahasa
Indonesia menjadi jeri dalam bahasa Bugis.
Interferensi fonologi bahasa Bugis
dalam bahasa Indonesia terjadi pula pada bidang diftong, misalnya pulo
‘pulau’. Dalam hal ini, kata pulo dalam bahasa Bugis berekuivalen
dengan kata “pulau” dalam bahasa Indonesia yang terdapat diftong [au]. Dalam
kata pulo diakhiri vokal [o] namun dalam kata “pulau” diakhiri dengan
diftong [au]. Oleh sebab itu, kata “pulau” sudah terinterferensi bahasa Bugis
menjadi pulo.
Interferensi fonologi bahasa Bugis dalam bahasa
Indonesia juga terjadi pada bidang konsonan yakni terjadi perubahan konsonan
dalam bentuk penambahan bunyi konsonan, penghilangan bunyi konsonan dan
penggantian bunyi konsonan. Hal ini terlihat dari data berikut.
sala
-------- salah
musu
-------- musuh
ati
-------- hati
dinging -------- dingin
waju
-------- baju
sujuk
-------- sujud
Data di atas memperlihatkan bahwa pengucapan kata
“salah” dan “musuh” dalam bahasa Indonesia akan menjadi sala dan musu
dalam pengucapan bahasa Bugis. Ini merupakan interferensi fonologi dalam
bidang konsonan sebab terjadi penghilangan bunyi [h]. Demikian juga pada kata
“hati” juga merupakan interferensi fonologi dalam bidang konsonan karena pada
kata “hati” dalam bahasa Indonesia akan menjadi ati dalam pengucapan
bahasa Bugis sebab terjadi penghilangan bunyi [h].
Sebaliknya, pengucapan kata
“dingin” dalam bahasa Indonesia akan menjadi dinging dalam pengucapan
bahasa Bugis. Pengucapan bunyi setiap kata yang diakhiri bunyi [n] akan
mengalami perubahan bunyi menjadi [ng]. Ini merupakan interferensi fonologi
dalam bidang konsonan karena setiap kata yang diakhiri bunyi [n] akan
terdapat penambahan bunyi [g].
Pengucapan kata “baju” dalam
bahasa Indonesia akan menjadi waju dalam pengucapan bahasa Bugis.
Terjadi perubahan pengucapan dari bunyi [b] dalam bahasa Indonesia menjadi
bunyi [w] dalam bahasa Bugis. Demikian juga pada kata sujud terjadi
perubahan bunyi menjadi sujuk; kata jadi diucapkan jaji dan tutup menjadi tutuk.
Interferensi Morfologis
Interferensi morfologi terjadi pada unsur pembentuk katayang meliputi:
prefiks, sufiks, dan konfiks. Hal ini terlihat pada data berikut ini.
pedagang ------
pa-
+ dagang = padagang
pembaca
------ pab-
+
baca
= pabbaca
pembeli
------ pan-
+
beli =
pangelli
belokan
------ belok
+
-eng = belokeng
turunan
------ turun
+
-ang
= turunang
rumahnya
------ rumah +
-na = rumahna
pergelangan
------ gelang +
pag-eng =
paggelangeng
kesenangan ------ a-eng
+
senang = asenangeng
bilangan
------ ab-eng +
bilangan = abbilangeng
pelarian
------ al-eng
+ lari
= allaringeng
kurungan
------ ak-eng +
kurung = akkurungeng
kecocokan ------
assi-eng
+cocok = assicocokeng
perjanjian
------ assi-ing
+
janji
= assijancing
penurunan ------
appa-eng
+turun
= appaturungeng
pertolongan ------
appasi-eng +tolong
= appasitolongeng
pergelangan ------ sippag-eng
+gelang
= sipaggelangeng
permusuhan ------
assi-reng +
musu
= assimusureng
Interferensi Sintaksis
Interferensi bahasa Bugis dalam bahasa Indonesia terjadi pula dalam bidang
sintaksis yakni pada tataran frasa dan klausa. Interferensi pada tataran
frasa terlihat dalam peristiwa tutur yang berikut ini.
a. + Ika : ini pena siapa?
- Rita: Itu penana Rudi
yang hilang ‘Itu pena Rudi yang hilang
b. + Siswa : buk lihat bajuna Riko
kotor. ‘buk lihat baju Rikokotor’
- Guru : Riko bersihkan baju kamu.
c. + Siswa : buk, tasna ibu guru
bagus ‘buk, tas ibu gurubagus’
- Guru :
terimakasih ya.
Dari data frasa di atas merupakan
struktur kepemilikan atau posesif. Dalam bahasa Bugis, makna “kepemilikan”
memang lazim dinyatakan dengan manambahkan –na, yang dalam bahasa Indonesia
dapat dipadankan dengan –nya. Dalam bahasa Indonesia frasa kepemilikan
seperti itu tidak dinyatakan dengan -nya, tetapi cukup dengan menggabungkan
unsur termilik dan unsur pemiliknya.
Interferensi pada tataran klausa pun sering
terjadi seperti yang terlihat dalam tuturan berikut ini.
a) Coba lihat masau banna sepedana Rino
‘Coba lihat kempes
bannya sepeda Rino’
‘Coba lihat, ban sepeda
Rino kempes,
b) Kira-kira sekdi meterek ro
tandrena tiange
‘Kira-kira satu meter
tingginya tiang itu’
‘Tinggi tiang itu kira-kira
satu meter’
c) Bagus sekali celak padokkokna buku Uki
‘Bagus sekali merah sampulnya
buku Uki’
‘Sampul buku
Uki bagus sekali
Penyebab Terjadinya Interferensi
Terjadinya interferensi bahasa
Bugis ke dalam bahasa Indonesia yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari
yang dilakukan oleh siswa dan guru di sekolah Dasar Tanjungpinang. Keadaan
ini memperlihatkan bahwa interferensi terjadi bukan karena disengaja oleh
siswa dengan maksud untuk mempermudah penyampaian buah pikirannya, tetapi
terjadi karena penguasaan sistem bahasa pertama (bahasa Bugis) mereka yang
lebih tinggi dari kemampuan mereka bertutur dengan bahasa Indonesia.
Penguasaan bahasa pertama yang lebih tinggi menyebabkan mereka terbiasa
berbicara dengan bahasa tersebut, dan hal ini agaknya menjadi sebab mengapa
bahasa Bugis banyak terbawa ke dalam kata bahasa Indonesia saat mereka
berkomunikasi pada saat proses belajar mengajar.
Interferensi bahasa Bugis yang
terjadi dalam proses belajar mengajar terjadi pula karena kebiasaan mereka
menggunakan bahasa tersebut dalam lingkungan mereka sehari-hari, sehingga
kebiasaan tersebut tetap mereka bawa pada saat mereka seharusnya bertutur
dengan bahasa Indonesia yang bukan merupakan bahasa keseharian mereka. Oleh
karena itu, kemampuan mereka untuk menggunakan bahasa Indonesia sulit
berkembang dan hal tersebut menyebabkan mereka merasa malu menggunakan bahasa
Indonesia, sehingga berakibat keinginan mereka menggunakan bahasa Indonesia
rendah. Hal lain adalah kurangnya mereka menggunakan media massa seperti
koran, majalah yang mereka baca, untuk meningkatkan kemampuan mereka
berbahasa Indonesia.
Hasil pengamatan peneliti selama
penelitian menunjukkan bahwa sangat sedikit adanya interaksi antara guru
dengan murid yang menggunakan media bahasa Indonesia. Sehingga siswa tetap
menggunakan bahasa Bugis pada saat mereka seharusnya bertutur dengan bahasa
Indonesia, hal ini terjadi karena guru kurang tegas atau kontrol dalam
pemakaian bahasa Indonesia.
Akumulasi dari hal-hal tersebut di
atas akan membuat kemampuan siswa menggunakan bahasa Indonesia tidak
berkembang dengan baik, karena mereka selalu menggunakan bahasa Bugis dalam
berkomunikasi baik di rumah maupun di sekolah. Oleh karena itu, wajar bila
dalam komunikasi siswa kepada guru pada saat proses belajar mengajar gaya dan
kemampuan mereka bertutur masih sangat dipengaruhi oleh bahasa Bugis.
Akibatnya pada setiap mereka berkomunikasi ungkapan-ungkapan dan tata bahasa
serta tuturan yang bernuansa bahasa Bugis selalu terbawa. Kemampuan mereka
berbahasa Indonesia menjadi rendah yang pada akhirnya mereka akan tetap
tertinggal dari mereka yang menguasai bahasa dengan baik dan benar dalam
segala hal.
Berdasarkan pengamatan penulis
selama penelitian, masih banyaknya penggunaan kata atau kalimat yang
terinterferensi oleh bahasa Bugis membuktikkan bahwa penggunaan bahasa Bugis
masih dominan dipakai di lingkungan siswa Keadaan ini terjadi karena
penggunaan bahasa Bugis yang sudah terbiasa digunakan oleh siswa dalam
lingkungan sehari-hari akan tetap mereka bawa pada saat mereka seharusnya
bertutur bahasa Indonesia yang bukan merupakan bahasa keseharian mereka. Oleh
karena itu, kemampuan mereka menggunakan bahasa mereka masih rendah dan sulit
untuk berkembang dengan baik.
Selain itu, masih rendahnya
interaksi antara guru dan siswa yang menggunakan media bahasa Indonesia,
sehingga mereka akan tetap menggunakan bahasa Bugis saat mereka seharusnya
bertutur dengan bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena guru kurang disiplin
dalam mengontrol pemakaian bahasa Indonesia. Penyebab terjadinya interferensi
bahasa Bugis dalam proses belajar mengajar yang dilakukan di sekolah antara
lain adanya kalimat yang terinterferensi oleh kata-kata dan struktur kata
bahasa Bugis dalam komunikasi yang dilakukan oleh siswa membuktikan bahwa
betapa masih dominannya pemakaian bahasa tersebut dalam komunikasi
sehari-hari.
Peristiwa ini merupakan salah satu dampak dari
bilingualisme atau penggunaan dua bahasa. Dan keadaan seperti ini menyiratkan
bahwa interferensi terjadi begitu saja, karena kebiasaan siswa menggunakan
bahasa Bugis dan bahasa Indonesia secara bergantian. Bahasa Bugis diperoleh
siswa sebagai bahasa pertama dan lebih dikuasainya dari bahasa Indonesia yang
diperoleh di sekolah sebagai bahasa kedua.
Kalau dilihat dari peluang
penggunaan bahasa, bahasa yang lebih besar peluang penggunaannya akan besar
pula peluangnya untuk terinterferensi kebahasa yang lebih kecil peluang
penggunaannya. Bahasa Bugis lebih berpeluang digunakan dari pada bahasa
Indonesia dan lebih terbiasa atau fasih menggunakannya dalam komunikasi
sehari-hari. Dan hal ini sepertinya menjadi penyebab mengapa bahasa Bugis
terbawa kedalam komunikasi yang dilakukan siswa.
Di samping itu, berdasarkan
jawaban siswa yang diperoleh pada saat melakukan wawancara, interferensi yang
terjadi pada saat proses belajar mengajar dikarenakan adanya unsur tidak
sengaja yang mereka lakukan, dan tidak mengetahui kosa kata atau struktur
kata bahasa Indonesia sehingga mereka menggantikannya dengan kata atau
struktur kata bahasa Bugis, yang merupakan salah satu dampak dari kurangnya
penguasaan bahasa Indonesia dan penguasaan bahasa Bugis yang lebih mereka
kuasai.
Berdasarkan hal-hal tersebut dapat
dikatakan bahwa interferensi bahasa Bugis yang terjadi pada proses belajar
mengajar terjadi karena siswa lebih menguasai bahasa Bugis dari pada bahasa Indoneisa.
Hal ini peneliti lihat dari penggunaan kosa kata bahasa tersebut dalam
percakapan, serta adanya ketidak sengajaan siswa dan unsur kebiasaan siswa
dalam berbahasa.
PENUTUP
SIMPULAN
Berdasarkan pada uraian-uraian yang telah disampaikan pada bab-bab
sebelumnya, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan bahwa bentuk interferensi
bahasa Bugis dalam pembelajaran bahasa Indonesia ada pada tataran fonologi
yang meliputi: perubahan bunyi vokal [e] dalam bahasa Indoneisa menjadi vokal
[a] dan vokal [i] dalam bahasa Bugis, vokal [o] dalam bahasa Indonesia
menjadi vokal [u] dalam bahasa Bugis, dan vokal [a] dalam bahasa Indonesia
menjadi vokal [e] dalam bahasa Bugis; pada tataran diftong juga terjadi
interferensi bahasa Bugis pada bunyi diftong [au] dalam bahasa Indonesia
menjadi [o] dalam bahasa Bugis.
Pada tataran konsonan juga terjadi
perubahan bunyi konsonan yang terjadi pada penambahan fonem /ng/,
penghilangan fonem /h/ dan penggantian fonem. Penggantian fonem terjadi pada
fonem /b/ dalam bahasa Indonesia menjadi fonem /w/ dalam bahasa Bugis, fonem
/d/ dalam bahasa Indonesia menjadi fonem /k/ dalam bahasa Bugis, fonem /d/
dalam bahasa Indonesia menjadi fonem /j/ dalam bahasa Bugis, dan fonem /p/
dalam bahasa Indonesia menjadi fonem /k/ dalam bahasaBugis. Bentuk
interferensi bahasa Bugis dalam bahasa Indonesia pada tataran morfologi
terjadi pada prefiks pa-,pab-, pan-, sufiks –eng, -ang dan sufiks –na. Pada
konfiks pag-eng, a-eng, ab-eng, ap-eng, al-eng, ak-eng, assi-eng, assi-ing,
appa-eng, appa-eng, appasi-eng, sipag-eng, a-eng dan assi-reng.
Selanjutnya bentuk interferensi
bahasa Bugis dalam bahasa Indonesia yang terjadi dalam tataran sintaksis
yakni pada frasa dan klausa sedangkan dalam tataran kalimat tidak ditemukan interferensi
bahasa Bugis dalam bahasa Indonesia.
Penyebab terjadinya interferensi
bahasa Bugis dalam proses belajar mengajar berasal dari guru dan siswa.
Penyebab yang berasal dari siswa karena kebiasaan mereka menggunakan bahasa
Bugis baik di rumah maupun di sekolah. Rendahnya kemampuan berbahasa
Indonesia, adanya ejekan dari teman-teman mereka menggunakan bahasa
Indonesia, sehingga mereka malu menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu,
kurangnya keinginan mereka untuk menggunakan bahasa Indonesia. Penyebab yang
berasal dari guru adalah kurangnya kontrol dari guru dan karena guru lebih
menekankan pada target pencapaian kurikulum dari pada penekanan kaidah bahasa
Indonesia yang baik.
DAFTAR RUJUKAN
Abdulhayi. 1985. Interferensi Gramatikal Bahasa
Indonesia dalam Bahasa Jawa. Jakarta: New aqua Perss.
Chaer, A. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta:
Rineka cipta
Hakim, Z. 1999. Tipe Semantik Bahasa Makassar.
Jakarta: Depdikbud.
Mustakim, 1994. Interferensi Bahasa Jawa dalam
Surat Kabar Berbahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Rindjin, K, dkk. 1981. Interferensi Gramatikal
Bahasa Bali dalam Pemakaian Bahasa Indonesia Murid Sekolah Dasar di Bali. Jakarta:
Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Tarigan, DJ. 1997. Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia di Kelas Rendah. Jakarta: Depdikbud. Universitas Terbuka.
Tarigan, H.G. 1990. Pengajaran Analisis Kesalahan
Berbahasa. Bandung: Angkasa Bandung.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar